introvert? why not

Written by fatma sw 0 comments Posted in: , ,


Saat teman-teman saya senang menghabiskan waktu dengan bergerombol kesana kemari, saya lebih suka berteman intim dan setia dengan dua hingga tiga orang saja. Saat teman-teman saya mulai membicarakan ini dan itu, pamer, basa-basi, mengoceh dan lain sebagainya dengan mudah, saya cenderung diam dan tidak akan balas berbasa-basi. Di saat seperti itu, saya membaca obrolan mereka, membaca bahasa tubuh mereka, dan hal itu adalah hal yang sangat menyenangkan untuk saya.

Di saat teman-teman saya senang dengan segala keramaian (konser musik, pertandingan antar sekolah, jalan-jalan ke mall saat weekend) yang menurut mereka bagus untuk menyegarkan diri, saya justru layu bila menjadi bagian dari keramaian itu. Saya punya cara sendiri untuk menyegarkan diri. Saya akan segar dengan menyendiri, dekat dengan alam, jauh dari hingar-bingar manusia.


I'm weird. 
Yes, something wrong with me

Teman-teman saya, mereka lebih bisa diterima dalam pergaulan, sedangkan saya tidak. Lalu, saya berpura-pura untuk mengikuti arus, agar bisa diterima oleh standar masyarakat. Saya berbicara ini itu, bergerombol dalam keramaian, menjadi penyemangat pertandingan antar sekolah. Then, am I happy? No. Saya tidak bisa menyehatkan kepala saya dalam dunia yang berisik. Saya tidak bisa lagi mendengar semesta berbicara dengan saya. Saat saya sadar bahwa saya tidak nyaman dengan berpura-pura, saya kembali menjadi 'Si aneh'.

Si aneh yang senang sendirian.
Si aneh yang jarang bicara.
Si aneh yang suka berpikir.
Si aneh yang sering di cap sombong.
Si aneh yang harus dirayu agar mau diajak 'bersenang-senang'.

Menyedihkan? Haha... saat itu saya kehilangan arah (ceile bahasa saya). Lalu saya mencari pembenaran, apa yang terjadi dengan saya. Mungkin saya ini anti sosial, mungkin otak saya terguncang waktu jatuh dari pohon jambu, mungkin saya mengalami gangguan jiwa, mungkin saya ini alien, mungkin saya ini jelmaan siluman, dan lain sebagainya.

Akhirnya, setelah menikmati sajian Psikologi dari berbagai sumber, saya menyadari bahwa saya ini tidak gila, saya bukan siluman, saya bukan alien (kalau yang ini masih dipertanyakan). Saya melakukan tes ini dan itu. Hasilnya... CIHUY! Saya ini normal. Hanya saja, saya diberkahi sesuatu yang kurang bisa diterima oleh standart kelayakan masyarakat.

Lima milyar penduduk dunia.
Saya hanya menjadi bagian 11,6% diantara mereka.
Minoritas. Akhirnya, saya menjadi seorang minoritas.
Akhirnya saya mengerti bagaimana rasanya. Not bad.

Dan dengan ini saya umumkan bahwa:

Saya positif introvert.
Ilmu psikologi mempelajari perilaku manusia untuk dibagi/digolongkan menjadi beberapa bagian. Sebagian dari kita mungkin mengenal istilah populer ini: sanguin, melankolis, flekmatis, dan kolerik. Ada juga pemilahan jenis sifat manusia yang saat ini sering dibicarakan, yaitu Eneagram. Sebenarnya ada banyak penggolongan lain, Introvert dan Ekstrovert termasuk di dalamnya, hanya saja istilah ini belum terlalu populer di lingkungan saya (mungkin juga anda).

Pada awalnya, saya mengira setelah seseorang mengetahui kemana kecenderungan sifat mereka, introvert maupun ekstrovert, ya sudah. Oh saya introvert, selesai. Ternyata tidak sesimpel itu, karena setelah saya pelajari, ada jurang yang sangat lebar diantara keduanya. Mari kita pahami perbedaan keduanya. Anda termasuk yang mana?

Ekstrovert:

  • Energi mereka didapat dari saling berinteraksi dengan orang lain.
  • Tidak bermasalah dengan keramaian dan kegiatan yang melibatkan banyak orang.
  • Punya banyak teman yang bisa saling bersenang-senang.
  • Tidak bermasalah untuk berbagi ide dengan orang asing sekalipun.
  • Berbicara/bertindak dulu baru berpikir, atau berbicara/bertindak sambil berpikir.
  • Mudah berbicara mengenai hal apapun, sekedar basa-basi hingga pembicaraan berbobot.
  • Bahagia apabila mereka dikelilingi orang lain.

Introvert:
  • Energi mereka didapat dari interaksi pada diri mereka sendiri, batin mereka sendiri.
  • Menyukai suasana yang sepi dan kesendirian.
  • Sedikit teman, karena mereka lebih suka pertemanan intim yang setia.
  • Hanya menceritakan gagasan mereka pada orang mereka percaya.
  • Berpikir (lama atau sangat lama) sebelum berbicara/bertindak.
  • Hanya berbicara bila memang ada hal-hal yang perlu dibicarakan.
  • Bahagia dengan pemahaman pada diri sendiri sebelum memahami orang lain.
Kata kunci disini adalah energi*. Ekstrovert, sesuai namanya, mereka mendapat energi dari luar, dari orang-orang disekitarnya, hidup mereka akan bermakna bila saling berinteraksi, mereka memahami manusia dengan saling bicara. Sedangkan introvert, mereka mendapat energi dari dalam dirinya, dari pemikirannya, dari batinnya, hidup mereka bermakna apabila mereka memahami dan menghargai diri mereka sendiri, sehingga mereka mudah memahami dan menghargai dunia di luar mereka tanpa banyak bicara sekalipun. Ini yang saya sebut perbedaan sebesar jurang.

*Energi yang dimaksud adalah kepuasan batin, bukan energi fisik yang didapat dari makanan.


Introvert dalam minoritas.
Kami para introvert, jumlah kami jauh lebih sedikit, sehingga kecenderungan kami untuk bersenang-senang dengan pikiran kami sendiri sulit dimengerti dan diterima oleh para ekstrovert. Pada akhirnya, kami menjadi komunitas yang aneh dan tersisih. Padahal jika kalian tahu, pikiran milik kalian adalah sesuatu yang begitu menyenangkan untuk diajak berbicara, Bumi kalian, bunga, langit dan—ah, saya lupa, para ekstrovert lebih suka saling berbicara dan bersenang-senang sesama manusia. Hehehe, peace :)

Well yeah, saya hidup di dunia yang senang memilah-milah, dimana mayoritas berkuasa, dan minoritas nelangsa. Mayoritaslah yang membuat standar hidup untuk semua orang, karena mereka mendominasi. Sedangkan minoritas harus menyesuaikan diri dengan standar hidup tersebut. Orang supel lebih disukai oleh masyarakat, orang yang mudah berbicara akan langsung dicap sebagai pribadi yang hangat, orang yang mudah mengemukakan pendapatnya akan langsung diberi tepuk tangan. Setuju atau tidak, stigma yang berkembang di masyarakat adalah, ekstrovert mudah diterima, sifat mereka baik untuk kehidupan, masa depan mereka cerah, karena manusia adalah makhluk sosial.

Sementara itu, para introvert harus menghadapi konsep manusia adalah makhluk sosial. Dimana untuk bersosialisasi, kita harus (minimal) memakai bibir untuk bercuap-cuap agar bisa diterima sebagai makhluk sosial (sedangkan introvert hanya berbicara jika memang perlu berbicara). Jika tidak bisa mendayagunakan bibir, padahal kalian normal dan tidak ada yang salah dengan mulut kalian, maka kalian akan langsung dicap suka menyendiri, susah bergaul, anti sosial, dan SOMBONG. Itulah masalah yang paling sering dihadapi oleh seorang introvert.


Introvert sering tersisih.
Kami para introvert terlihat sering menyendiri (padahal tidak selalu), karena disanalah kami mendapatkan energi dan pemahaman akan diri kami sendiri, yang sulit dimengerti oleh para ekstrovert. Kami terlihat sulit bergaul, karena kami senang bermain-main dengan pikiran kami terlebih dahulu sebelum deal dengan orang lain. Kami bukan anti sosial, seorang introvert tidak selamanya diam, mereka juga butuh orang lain untuk berbicara, curhat, mengemukakan ide, bahkan gila-gilaan dan bisa 'sinting', tetapi dengan sangat berhati-hati, yang biasa kalian sebut dengan tertutup. Terakhir, kami bukan makhluk sombong. Semudah itukah menyebut kami sombong hanya karena kami pelit bicara?
Tuhan menciptakan kami tidak untuk bunuh diri.
Sudah introvert, susah dipahami, minoritas pula. Jika diibaratkan, kami ini seperti seekor cacing pipih yang hidup serumah dengan seekor naga. Saat kami ingin sendiri, kami tidak sedang bermasalah, depresi, ataupun sakit. Kami hanya ingin sendirian untuk mengisi ulang energi kami, energi yang telah habis saat kami menjalankan kewajiban untuk bersosialisasi, sangat melelahkan. Sekali lagi, kesendirian dan memahami diri sendiri adalah sumber energi kami. Bagaimana kami bisa melakukannya kalau disekeliling kami ramai dan bising?

Bukan berarti kami ingin hidup di tengah hutan. Kami senang dengan dunia luar yang tenang. Kalaupun kami harus masuk ke dalam kebisingan, pesta, konser, mengerjakan proyek bersama, arisan, ngerumpi, kami tidak keberatan, tetapi seperti yang saya tulis di atas, kegiatan itu melelahkan pikiran kami, energi kami akan habis.

Kasarnya begini,

Misal dalam sebuah pesta, ekstrovert dan introvert berkumpul. Mereka saling berbincang dalam obrolan hangat dan menyenangkan (tuh, kami bukan anti sosial). Seorang ekstrovert akan pulang dari pesta dengan energi yang full, karena saat saling berinteraksi, ekstrovert mendapat energi/kepuasan batin. Sedangkan introvert, dia akan pulang dengan energi yang sudah terkuras, sehingga sesampai di rumah, dia perlu sendirian dalam keheningan untuk mengisi ulang energinya. Bagaimana mengisinya? Tentu saja dengan bersenang-senang melalui batin mereka sendiri.

0 comments:

Post a Comment

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Friday, June 10, 2011

introvert? why not


Saat teman-teman saya senang menghabiskan waktu dengan bergerombol kesana kemari, saya lebih suka berteman intim dan setia dengan dua hingga tiga orang saja. Saat teman-teman saya mulai membicarakan ini dan itu, pamer, basa-basi, mengoceh dan lain sebagainya dengan mudah, saya cenderung diam dan tidak akan balas berbasa-basi. Di saat seperti itu, saya membaca obrolan mereka, membaca bahasa tubuh mereka, dan hal itu adalah hal yang sangat menyenangkan untuk saya.

Di saat teman-teman saya senang dengan segala keramaian (konser musik, pertandingan antar sekolah, jalan-jalan ke mall saat weekend) yang menurut mereka bagus untuk menyegarkan diri, saya justru layu bila menjadi bagian dari keramaian itu. Saya punya cara sendiri untuk menyegarkan diri. Saya akan segar dengan menyendiri, dekat dengan alam, jauh dari hingar-bingar manusia.


I'm weird. 
Yes, something wrong with me

Teman-teman saya, mereka lebih bisa diterima dalam pergaulan, sedangkan saya tidak. Lalu, saya berpura-pura untuk mengikuti arus, agar bisa diterima oleh standar masyarakat. Saya berbicara ini itu, bergerombol dalam keramaian, menjadi penyemangat pertandingan antar sekolah. Then, am I happy? No. Saya tidak bisa menyehatkan kepala saya dalam dunia yang berisik. Saya tidak bisa lagi mendengar semesta berbicara dengan saya. Saat saya sadar bahwa saya tidak nyaman dengan berpura-pura, saya kembali menjadi 'Si aneh'.

Si aneh yang senang sendirian.
Si aneh yang jarang bicara.
Si aneh yang suka berpikir.
Si aneh yang sering di cap sombong.
Si aneh yang harus dirayu agar mau diajak 'bersenang-senang'.

Menyedihkan? Haha... saat itu saya kehilangan arah (ceile bahasa saya). Lalu saya mencari pembenaran, apa yang terjadi dengan saya. Mungkin saya ini anti sosial, mungkin otak saya terguncang waktu jatuh dari pohon jambu, mungkin saya mengalami gangguan jiwa, mungkin saya ini alien, mungkin saya ini jelmaan siluman, dan lain sebagainya.

Akhirnya, setelah menikmati sajian Psikologi dari berbagai sumber, saya menyadari bahwa saya ini tidak gila, saya bukan siluman, saya bukan alien (kalau yang ini masih dipertanyakan). Saya melakukan tes ini dan itu. Hasilnya... CIHUY! Saya ini normal. Hanya saja, saya diberkahi sesuatu yang kurang bisa diterima oleh standart kelayakan masyarakat.

Lima milyar penduduk dunia.
Saya hanya menjadi bagian 11,6% diantara mereka.
Minoritas. Akhirnya, saya menjadi seorang minoritas.
Akhirnya saya mengerti bagaimana rasanya. Not bad.

Dan dengan ini saya umumkan bahwa:

Saya positif introvert.
Ilmu psikologi mempelajari perilaku manusia untuk dibagi/digolongkan menjadi beberapa bagian. Sebagian dari kita mungkin mengenal istilah populer ini: sanguin, melankolis, flekmatis, dan kolerik. Ada juga pemilahan jenis sifat manusia yang saat ini sering dibicarakan, yaitu Eneagram. Sebenarnya ada banyak penggolongan lain, Introvert dan Ekstrovert termasuk di dalamnya, hanya saja istilah ini belum terlalu populer di lingkungan saya (mungkin juga anda).

Pada awalnya, saya mengira setelah seseorang mengetahui kemana kecenderungan sifat mereka, introvert maupun ekstrovert, ya sudah. Oh saya introvert, selesai. Ternyata tidak sesimpel itu, karena setelah saya pelajari, ada jurang yang sangat lebar diantara keduanya. Mari kita pahami perbedaan keduanya. Anda termasuk yang mana?

Ekstrovert:

  • Energi mereka didapat dari saling berinteraksi dengan orang lain.
  • Tidak bermasalah dengan keramaian dan kegiatan yang melibatkan banyak orang.
  • Punya banyak teman yang bisa saling bersenang-senang.
  • Tidak bermasalah untuk berbagi ide dengan orang asing sekalipun.
  • Berbicara/bertindak dulu baru berpikir, atau berbicara/bertindak sambil berpikir.
  • Mudah berbicara mengenai hal apapun, sekedar basa-basi hingga pembicaraan berbobot.
  • Bahagia apabila mereka dikelilingi orang lain.

Introvert:
  • Energi mereka didapat dari interaksi pada diri mereka sendiri, batin mereka sendiri.
  • Menyukai suasana yang sepi dan kesendirian.
  • Sedikit teman, karena mereka lebih suka pertemanan intim yang setia.
  • Hanya menceritakan gagasan mereka pada orang mereka percaya.
  • Berpikir (lama atau sangat lama) sebelum berbicara/bertindak.
  • Hanya berbicara bila memang ada hal-hal yang perlu dibicarakan.
  • Bahagia dengan pemahaman pada diri sendiri sebelum memahami orang lain.
Kata kunci disini adalah energi*. Ekstrovert, sesuai namanya, mereka mendapat energi dari luar, dari orang-orang disekitarnya, hidup mereka akan bermakna bila saling berinteraksi, mereka memahami manusia dengan saling bicara. Sedangkan introvert, mereka mendapat energi dari dalam dirinya, dari pemikirannya, dari batinnya, hidup mereka bermakna apabila mereka memahami dan menghargai diri mereka sendiri, sehingga mereka mudah memahami dan menghargai dunia di luar mereka tanpa banyak bicara sekalipun. Ini yang saya sebut perbedaan sebesar jurang.

*Energi yang dimaksud adalah kepuasan batin, bukan energi fisik yang didapat dari makanan.


Introvert dalam minoritas.
Kami para introvert, jumlah kami jauh lebih sedikit, sehingga kecenderungan kami untuk bersenang-senang dengan pikiran kami sendiri sulit dimengerti dan diterima oleh para ekstrovert. Pada akhirnya, kami menjadi komunitas yang aneh dan tersisih. Padahal jika kalian tahu, pikiran milik kalian adalah sesuatu yang begitu menyenangkan untuk diajak berbicara, Bumi kalian, bunga, langit dan—ah, saya lupa, para ekstrovert lebih suka saling berbicara dan bersenang-senang sesama manusia. Hehehe, peace :)

Well yeah, saya hidup di dunia yang senang memilah-milah, dimana mayoritas berkuasa, dan minoritas nelangsa. Mayoritaslah yang membuat standar hidup untuk semua orang, karena mereka mendominasi. Sedangkan minoritas harus menyesuaikan diri dengan standar hidup tersebut. Orang supel lebih disukai oleh masyarakat, orang yang mudah berbicara akan langsung dicap sebagai pribadi yang hangat, orang yang mudah mengemukakan pendapatnya akan langsung diberi tepuk tangan. Setuju atau tidak, stigma yang berkembang di masyarakat adalah, ekstrovert mudah diterima, sifat mereka baik untuk kehidupan, masa depan mereka cerah, karena manusia adalah makhluk sosial.

Sementara itu, para introvert harus menghadapi konsep manusia adalah makhluk sosial. Dimana untuk bersosialisasi, kita harus (minimal) memakai bibir untuk bercuap-cuap agar bisa diterima sebagai makhluk sosial (sedangkan introvert hanya berbicara jika memang perlu berbicara). Jika tidak bisa mendayagunakan bibir, padahal kalian normal dan tidak ada yang salah dengan mulut kalian, maka kalian akan langsung dicap suka menyendiri, susah bergaul, anti sosial, dan SOMBONG. Itulah masalah yang paling sering dihadapi oleh seorang introvert.


Introvert sering tersisih.
Kami para introvert terlihat sering menyendiri (padahal tidak selalu), karena disanalah kami mendapatkan energi dan pemahaman akan diri kami sendiri, yang sulit dimengerti oleh para ekstrovert. Kami terlihat sulit bergaul, karena kami senang bermain-main dengan pikiran kami terlebih dahulu sebelum deal dengan orang lain. Kami bukan anti sosial, seorang introvert tidak selamanya diam, mereka juga butuh orang lain untuk berbicara, curhat, mengemukakan ide, bahkan gila-gilaan dan bisa 'sinting', tetapi dengan sangat berhati-hati, yang biasa kalian sebut dengan tertutup. Terakhir, kami bukan makhluk sombong. Semudah itukah menyebut kami sombong hanya karena kami pelit bicara?
Tuhan menciptakan kami tidak untuk bunuh diri.
Sudah introvert, susah dipahami, minoritas pula. Jika diibaratkan, kami ini seperti seekor cacing pipih yang hidup serumah dengan seekor naga. Saat kami ingin sendiri, kami tidak sedang bermasalah, depresi, ataupun sakit. Kami hanya ingin sendirian untuk mengisi ulang energi kami, energi yang telah habis saat kami menjalankan kewajiban untuk bersosialisasi, sangat melelahkan. Sekali lagi, kesendirian dan memahami diri sendiri adalah sumber energi kami. Bagaimana kami bisa melakukannya kalau disekeliling kami ramai dan bising?

Bukan berarti kami ingin hidup di tengah hutan. Kami senang dengan dunia luar yang tenang. Kalaupun kami harus masuk ke dalam kebisingan, pesta, konser, mengerjakan proyek bersama, arisan, ngerumpi, kami tidak keberatan, tetapi seperti yang saya tulis di atas, kegiatan itu melelahkan pikiran kami, energi kami akan habis.

Kasarnya begini,

Misal dalam sebuah pesta, ekstrovert dan introvert berkumpul. Mereka saling berbincang dalam obrolan hangat dan menyenangkan (tuh, kami bukan anti sosial). Seorang ekstrovert akan pulang dari pesta dengan energi yang full, karena saat saling berinteraksi, ekstrovert mendapat energi/kepuasan batin. Sedangkan introvert, dia akan pulang dengan energi yang sudah terkuras, sehingga sesampai di rumah, dia perlu sendirian dalam keheningan untuk mengisi ulang energinya. Bagaimana mengisinya? Tentu saja dengan bersenang-senang melalui batin mereka sendiri.

0 comments:

Post a Comment

Pages

Powered By Blogger

Sample List

Powered by Blogger.

Buscar