Written by fatma sw 0 comments Posted in: , ,

Dalam kehidupan normal saja, masa remaja adalah masa yang sulit untuk dilalui. Tapi jika sejak remaja kau sudah merasa bahwa kau gay/lesbian/transeksual, masa itu akan berpuluh-puluh kali lipat lebih sulit. Kesendirian dan ketakutan yang dialami remaja homoseksual sering menyebabkan timbulnya depresi yang berlebihan. Kadang-kadang bunuh diri dilakukan untuk mencegah agar orang-orang tidak tahu bahwa dia homoseksual. Selain itu desakan pergaulan atau peer pressure, tekanan orangtua, atau akibat coming out yang terlalu dini di usia muda bisa menyebabkan remaja homoseksual mengambil tindakan nekat.

Dunia remaja tidaklah seindah novel-novel teenlit atau semanis gulali. Banyak dari kita yang sudah melewati masa remaja pasti mengakuinya. Memasuki masa puber dan remaja, biasanya gay/lesbian/transeksual menyadari bahwa diri mereka berbeda dari teman-temannya karena mereka tertarik pada sesama jenis.

Perbedaan bukanlah sesuatu yang disukai oleh remaja, maka bisa kaulihat bagaimana remaja sering bergerombol ke sana kemari demi untuk jadi bagian dari suatu kelompok (dan moga-moga kau bisa masuk kelompok populer). Saat kau berbeda, kau jadi makhluk freak, nerd, atau si homo. Saat kau berbeda, kau akan jadi sasaran bullying mereka yang mayoritas. Belum lagi jika kau berasal dari keluarga yang kurang harmonis, di mana keluarga tidak bisa jadi pilar tempatmu bersandar. Meskipun keluarga harmonis juga tidak menjamin 100% anak tidak melakukan bunuh diri.

Bayangkan betapa takutnya dirimu saat mengetahuinya. Kau tentu tidak mau dipanggil si homo, banci, lesbi, bencong, lines, atau apalah sebutan lainnya selama di sekolah, kan? Atau bahkan kau bisa dipukuli di sekolah setiap hari karena alasan bahwa dirimu “beda”. Rasa takut dan bingung itu membuat banyak remaja seakan-akan merasa berada dalam lubang hitam tergelap dalam hidupnya. Saya sendiri pernah mengalaminya. Satu kali. Berpikir untuk mengakhiri hidup agar orang tidak perlu tahu bahwa saya lesbian. Dan kini tiap hari saya bersyukur niat itu hanya sebatas niatan dan saya tidak jadi melakukannya. Hidup terlalu berharga untuk disia-siakan seperti itu.

Bunuh diri sering dianggap sebagai cara mudah untuk menyelesaikan masalah. Apalagi karena remaja berpikir masih dengan amygdala, sehingga segala keputusan biasanya dilakukan atas dasar emosi bukannya nalar. Alexander Stevens, Asst. Professor di Oregon Health and Science University, menjelaskan bahwa otak remaja adalah “pekerjaan yang belum selesai.” Riset terbaru menyatakan jaringan saraf di otak bagian depan yang diperlukan untuk membuat keputusan, menyelesaikan masalah, dan berpikir secara logis dan nalar baru akan selesai terbentuk pada usia 20 tahunan.

Akibatnya remaja sering mengambil keputusan berdasarkan emosi sesaat tanpa dipikirkan akibatnya kemudian. Tapi ini juga yang menyebabkan cinta yang dialami oleh remaja terasa begitu indah karena emosi mereka membanjir mengalir drastis dalam otak mereka.

Oleh karena itu coming out, tidaklah disarankan untuk kaum remaja terutama yang masih berusia di bawah 19 tahun. Cobalah untuk beradaptasi sekarang, kau bisa coming out nanti kalau kau sudah sukses dan berprestasi sehingga debu pun menyingkir saat kau hendak berjalan. Coming out butuh kemandirian diri yang amat sangat besar dan pertimbangan rasional yang dipikirkan secara saksama, bukan dilakukan secara impulsif.

Banyak yang tidak merasa aman untuk “come out” dengan orientasi seksual mereka. Dan sayangnya, mereka benar. Banyak remaja GLBT yang jadi sasaran siksaan fisik dan verbal. Dan bullying terus-menerus ini bisa mendorong bunuh diri. Sumber: http://www.suicide.org/gay-and-lesbian-suicide.html

Proses penerimaan diri seseorang menyadari bahwa mereka gay/lesbian/transeksual adalah proses yang panjang berliku dan menyakitkan. Semakin muda seseorang menyadari orientasi seksualnya, semakin banyak kebingungan dan kesulitan yang mereka hadapi yang bisa mendorong risiko terjadinya pikiran atau tindakan bunuh diri. Biasanya mereka yang bunuh diri adalah mereka yang secara fisik tampak “berbeda”. Transeksual yang tidak tahan harus menjadi orang yang bukan dirinya juga banyak yang berpikir untuk mengakhiri hidup mereka. Banyak lesbian/gay yang setelah melewati usia 20 tahun akhirnya memutuskan untuk kompromi, terutama terhadap keluarga dan juga melakukan adaptasi sosial.

Menurut statistik di Amerika Serikat tahun 2001 dari situs http://www.suicide.org/, remaja usia 15-24 meninggal akibat bunuh diri setiap 2 jam 12 menit. Dan kurang-lebih 30%-nya adalah remaja gay/lesbian/transeksual. Menurut data statistik dari http://www.lambda.org/youth_suicide.htm, 35% gay dan 38% lesbian pernah serius berpikir untuk bunuh diri.

Di Indonesia sendiri menurut majalah Tempo dalam terbitan Maret 2007, tidak ada data pasti tentang statistik bunuh diri di Indonesia. Dan sayangnya, di Indonesia kepedulian terhadap tingkat bunuh diri ini sangat rendah. Hampir tidak ada referensi pencegahan bunuh diri atau hotline untuk remaja yang bisa ditemukan untuk menangani hal ini. Padahal support group amat diperlukan dalam hal ini.

Masalah bunuh diri ini bukanlah karena “perbedaan” orientasi seksual, tapi lebih kepada cara memandang hidup. Tidak ada seorang remaja pun, homoseksual atau hetero, yang seharusnya berpikir untuk melakukan bunuh diri. Percayalah suatu hari kau akan menemukan cinta yang kau cari. Ingatlah bahwa
kau tidak sendirian. Dirimu terlalu berharga. Bunuh diri bukanlah jawaban. Carilah bantuan.

0 comments:

Post a Comment

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Friday, June 10, 2011

Dalam kehidupan normal saja, masa remaja adalah masa yang sulit untuk dilalui. Tapi jika sejak remaja kau sudah merasa bahwa kau gay/lesbian/transeksual, masa itu akan berpuluh-puluh kali lipat lebih sulit. Kesendirian dan ketakutan yang dialami remaja homoseksual sering menyebabkan timbulnya depresi yang berlebihan. Kadang-kadang bunuh diri dilakukan untuk mencegah agar orang-orang tidak tahu bahwa dia homoseksual. Selain itu desakan pergaulan atau peer pressure, tekanan orangtua, atau akibat coming out yang terlalu dini di usia muda bisa menyebabkan remaja homoseksual mengambil tindakan nekat.

Dunia remaja tidaklah seindah novel-novel teenlit atau semanis gulali. Banyak dari kita yang sudah melewati masa remaja pasti mengakuinya. Memasuki masa puber dan remaja, biasanya gay/lesbian/transeksual menyadari bahwa diri mereka berbeda dari teman-temannya karena mereka tertarik pada sesama jenis.

Perbedaan bukanlah sesuatu yang disukai oleh remaja, maka bisa kaulihat bagaimana remaja sering bergerombol ke sana kemari demi untuk jadi bagian dari suatu kelompok (dan moga-moga kau bisa masuk kelompok populer). Saat kau berbeda, kau jadi makhluk freak, nerd, atau si homo. Saat kau berbeda, kau akan jadi sasaran bullying mereka yang mayoritas. Belum lagi jika kau berasal dari keluarga yang kurang harmonis, di mana keluarga tidak bisa jadi pilar tempatmu bersandar. Meskipun keluarga harmonis juga tidak menjamin 100% anak tidak melakukan bunuh diri.

Bayangkan betapa takutnya dirimu saat mengetahuinya. Kau tentu tidak mau dipanggil si homo, banci, lesbi, bencong, lines, atau apalah sebutan lainnya selama di sekolah, kan? Atau bahkan kau bisa dipukuli di sekolah setiap hari karena alasan bahwa dirimu “beda”. Rasa takut dan bingung itu membuat banyak remaja seakan-akan merasa berada dalam lubang hitam tergelap dalam hidupnya. Saya sendiri pernah mengalaminya. Satu kali. Berpikir untuk mengakhiri hidup agar orang tidak perlu tahu bahwa saya lesbian. Dan kini tiap hari saya bersyukur niat itu hanya sebatas niatan dan saya tidak jadi melakukannya. Hidup terlalu berharga untuk disia-siakan seperti itu.

Bunuh diri sering dianggap sebagai cara mudah untuk menyelesaikan masalah. Apalagi karena remaja berpikir masih dengan amygdala, sehingga segala keputusan biasanya dilakukan atas dasar emosi bukannya nalar. Alexander Stevens, Asst. Professor di Oregon Health and Science University, menjelaskan bahwa otak remaja adalah “pekerjaan yang belum selesai.” Riset terbaru menyatakan jaringan saraf di otak bagian depan yang diperlukan untuk membuat keputusan, menyelesaikan masalah, dan berpikir secara logis dan nalar baru akan selesai terbentuk pada usia 20 tahunan.

Akibatnya remaja sering mengambil keputusan berdasarkan emosi sesaat tanpa dipikirkan akibatnya kemudian. Tapi ini juga yang menyebabkan cinta yang dialami oleh remaja terasa begitu indah karena emosi mereka membanjir mengalir drastis dalam otak mereka.

Oleh karena itu coming out, tidaklah disarankan untuk kaum remaja terutama yang masih berusia di bawah 19 tahun. Cobalah untuk beradaptasi sekarang, kau bisa coming out nanti kalau kau sudah sukses dan berprestasi sehingga debu pun menyingkir saat kau hendak berjalan. Coming out butuh kemandirian diri yang amat sangat besar dan pertimbangan rasional yang dipikirkan secara saksama, bukan dilakukan secara impulsif.

Banyak yang tidak merasa aman untuk “come out” dengan orientasi seksual mereka. Dan sayangnya, mereka benar. Banyak remaja GLBT yang jadi sasaran siksaan fisik dan verbal. Dan bullying terus-menerus ini bisa mendorong bunuh diri. Sumber: http://www.suicide.org/gay-and-lesbian-suicide.html

Proses penerimaan diri seseorang menyadari bahwa mereka gay/lesbian/transeksual adalah proses yang panjang berliku dan menyakitkan. Semakin muda seseorang menyadari orientasi seksualnya, semakin banyak kebingungan dan kesulitan yang mereka hadapi yang bisa mendorong risiko terjadinya pikiran atau tindakan bunuh diri. Biasanya mereka yang bunuh diri adalah mereka yang secara fisik tampak “berbeda”. Transeksual yang tidak tahan harus menjadi orang yang bukan dirinya juga banyak yang berpikir untuk mengakhiri hidup mereka. Banyak lesbian/gay yang setelah melewati usia 20 tahun akhirnya memutuskan untuk kompromi, terutama terhadap keluarga dan juga melakukan adaptasi sosial.

Menurut statistik di Amerika Serikat tahun 2001 dari situs http://www.suicide.org/, remaja usia 15-24 meninggal akibat bunuh diri setiap 2 jam 12 menit. Dan kurang-lebih 30%-nya adalah remaja gay/lesbian/transeksual. Menurut data statistik dari http://www.lambda.org/youth_suicide.htm, 35% gay dan 38% lesbian pernah serius berpikir untuk bunuh diri.

Di Indonesia sendiri menurut majalah Tempo dalam terbitan Maret 2007, tidak ada data pasti tentang statistik bunuh diri di Indonesia. Dan sayangnya, di Indonesia kepedulian terhadap tingkat bunuh diri ini sangat rendah. Hampir tidak ada referensi pencegahan bunuh diri atau hotline untuk remaja yang bisa ditemukan untuk menangani hal ini. Padahal support group amat diperlukan dalam hal ini.

Masalah bunuh diri ini bukanlah karena “perbedaan” orientasi seksual, tapi lebih kepada cara memandang hidup. Tidak ada seorang remaja pun, homoseksual atau hetero, yang seharusnya berpikir untuk melakukan bunuh diri. Percayalah suatu hari kau akan menemukan cinta yang kau cari. Ingatlah bahwa
kau tidak sendirian. Dirimu terlalu berharga. Bunuh diri bukanlah jawaban. Carilah bantuan.

0 comments:

Post a Comment

Pages

Powered By Blogger

Sample List

Powered by Blogger.

Buscar